OBJEK KAJIAN, ALAT UCAP, DAN KLASIFIKASI BUNYI BAHASA
A. Objek Kajian Fonetik
Bahasa merupakan suatu sitem
lambang bunyi yang arbitrer yang dipakai oleh manusia untuk tujuan komunikasi.
Hal ini merupakan fenomena yang menggabungkan 2 dunia, yakni dunia maknanya dan
dunia bunyi. Bahasa mempunyai tiga subsistem yaitu subsistem fonologis,
subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal. Ketiga subsistem tersebut
berhubungan dengan aspek-aspek semantis. Hubungan ketiga subsistem bahasa
tersebut dapat digambarkan seperti dibawah ini.
Subsistem fonologis yang
meliputi unsur bunyi bahasa yang berhubungan dengan unsur artikuloris, akustis,
dan auditoris dikaji oleh fonetik ; unsur bunyi bahasa yang yang meliputi kata,
bagian kata (morfem), dan proses pembentukan kata dikaji oleh morfologi;
sedangkan susunan kata yang berupa frasa, klausa, kalimat, dan wacana dikaji
oleh sintaksis. Subsistem leksikal yang meliputi kosakata(leksikon) dikaji oleh
leksikologi. Subsistem fonologi,gramatikal,dan leksikal berhubungan denan
asfek-asfek semantis atau makna dikaji oleh semantik.
Batasan dan
Kajian Fonologi
Istilah fonologi berasal
dari bahasa Yunani phone =’bunyi’, logos=’ilmu’. Secara harfiah, fonologi
adalah ‘ilmu bunyi’. Fonologi merupakan bagian dari ilmu bahasa yang mengkaji
bunyi, baik yang diucapkan (etik,parole),
maupun yang masih dalam pikiran ( emik,langue).
Objek kajian fonologi yang pertama disebut bunyi bahasa (fon) disebut tata
bunyi(fonetik). Adapun yang mengkaji fonem disebut tata fonem (fonemik).
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa fonologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji
dan mendeskripsikan bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya, dan perubahannya.
Fonologi mengkaji bunyi bahasa secara umum dan fungsional.
Objek garapan fonologi meliputi dua macam yaitu (1) fonetik
dan (2) fonemik.
Batasan
Fonetik
Istilah fonetik berasal dari
bahasa Inggris phonetics artinya ‘ ilmu yang mengkaji bunyi-bunyi tanpa
memperhatikan fungsinya untuk membedakan arti (Verhaar,1982:12;Marsono,1989:1).
Menurut Sudaryanto (1974:1), fonetik mengkaji bunyi bahasa dari sudut ucapan (parole).
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa fonetik merupakan cabang fonologi yang mengkaji dan
mendeskripsikan bunyi bahasa dari sudut ucapan, bagaimana cara membentuknya
sehingga menjadi getaran udara dan dapat diterima oleh pendengaran.
Jenis
Fonetik
Berdasarkan sudut pandang
bunyi bahasa, fonetik dapat dibagi menjadi 3 macam, yakni : (1) fonetik
organis, (2) fonetik akustis, dan (3) fonetik auditoris (Bloch dan Trager,
1942:11;Verhaar 1982:12).
1.
Fonetik Organis
Fonetik Organis
(artikulatoris,fisiologis) yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskrifsikan mekanisme
alat-alat ucap manusia dalam menghasilkan bunyi bahasa (Gleason, 1955:239).
Jadi fonetik organis ini mendeskripsikan cara membentuk dan mengucapkan bunyi
bahasa, serta pembagian bunyi bahasa berdasrkan artikulasinya. Fonetik ini
sebagian besar termasuk ke dalam bidang garapan linguistik. Oleh sebab itu,
para linguis memasukannya pada bidang linguistik teoretis.
2.
Fonetik Akustis
Fonetik akustis
yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan bunyi bahasa berdasarkan pada
asfek-asfek fisiknya sebagai getaran udara (Malmberg, 1963:5). Bunyi bahasa
dikaji frekuensi getarannya, amplitudo, intensitas, beserta timbrenya.
3.
Fonetik Auditoris
Fonetik
auditoris yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan cara mekanisme
pendengaran penerimaan bunyi-bunyi bahasa sebagai getaran udara ( Bronstein dan
Jacoby, 1967:70-72). Fonetik auditoris
ini sebagian besar termasuk pada bidang neurologi (kedokteran), atau
merupakan ilmu antardisiplin antara linguistik dan kedokteran.
Ada sebuah
pendekatan ketika kita menganalisis bunyi bahasa. Pendekatan tersebut disebut pendekatan
parametris. Pendekatan ini memandang ucapan sebagai sistem fisiologis
tunggal yang variabel-variabel artikulasinya berada dalam saluran bunyi yang
terus berubah dan saling melengkapi.
B.
Terjadinya Bunyi Dan Alat Ucap
Seperti yang sudah disebutkan, bahwa fonetik
(artikulatoris) mengkaji cara membentuk bunyi-bunyi bahasa. Adapun sumber
kakuatan utama untuk membentuk bunyi bahasa yaitu udara yang keluar dari
paru-paru. Udara tersebut dihisap ke dalam paru-paru, kemudian dikeluarkan
ketika bernafas. Ketika udara keluar dari paru-paru melalui tenggorokan, ada
yang mendapat hambatan ada yang tidak mendapat hambatan.
Proses membentuk dan mengucapkan bunyi berlangsung
dalam suatu kontinuum. Menurut analisis bunyi fungsional, arus bunyi
yang kontinuum tersebut bisa dikategorisasikan berdasarkan segmen tertentu.
Walaupun denikian, ada pula bunyi yang tidak dapat dikategorisasikan menjadi
segmen-segmen tertentu yang disebut bunyi suprasegmental. Oleh sebab itu, bunyi
bahasa dapat dibagi menjadi :
(1)
Bunyi segmental dan
(2)
Bunyi suprasegmental.
Proses terbentuknya bunyi
bahasa secara garis besarnya terbagi atas 4 macam, yakni: (1) Proses keluarnya
bunyi dari paru-paru,
(2) Proses fonasi, yaitu
lewatnya bunyi dalam tenggorokan,
(3) Proses artikulasi yaitu
proses terbentuknya bunyi oleh artikulator dan,
(4)
Proses oro-nasal, proses keluarnya bunyi melalui mulut atau hidung (ladefoged,
1973: 2-3).

Terjadinya Bunyi:
1.
Sumber energi utama terjadinya bunyi bunyi bahasa adalah adanya udara dari
paru-paru.
2.
Udara dihirup ke dalam paru-paru kemudian dihembuskan keluar bersama-sama
waktu sedang bernapas.
3.
Udara yang dihembuskan (atau dihirup untuk sebagaian kecil bunyi bahasa) mendapat
hambatan di berbagai tempat alat-alat bicara dengan berbagai cara sehingga
terjadi bunyi bahasa.
4.
Tempat atau alat bicara yang dilewati diantaranya batang tenggorok,
pangkal tenggorok, kerongkongan, rongga mulut, rongga hidung.
5.
Pada waktu udara mengalir keluar pita suara harus dalam keadaan terbuka.
6.
Jika udara tidak mengalami hambatan pada alat bicara, bunyi bahasa tidak
akan terjadi.
7.
Syarat terjadinya bunyi bahasa secara garis besar.
Alat ucap :
1.
Paru-paru (lungs)
2.
Batang tenggorok (trachea)
3.
Pangkal tenggorok (larynx)
4.
Pita-pita suara (vocal cords)
5.
Krikoid (cricoid)
6.
Tiroid (thyroid/lekum)
7.
Aritenoid (arythenoids)
8.
Dinding rongga kerongkongan (wall of pharynx)
9.
Epiglotis (epiglottis)
10. Akar lidah (root of the tongue)
11. Punggung lidah/ pangkal lidah (dorsum)
12. Tengah lidah (medium)
13. Daun lidah (lamina)
14. Ujung lidah (apex)
15. Anak tekak (uvula)
16. Langit-langit lunak (velum)
17. Langit-langit keras (palatum)
18. Gusi dalam/ ceruk gigi (alveolae)
19. Gigi atas (denta)
20. Gigi bawah (denta)
21. Bibir atas (labia)
22. Bibir bawah (labia)
23. Mulut
24. Rongga mulut (oral cavity)
25. Rongga hidung (nasal cavity)
a.
Paru-paru (Lungs)
Paru-paru berfungsi untuk
bernafas. Bernafas terdiri atas dua proses, yakni: (1) Proses menghisap udara
ke paru-paru, yang berupa oksigen (O2); dan (2) Proses mengeluarkan udara dari
paru-paru, yang berupa karbondioksida (CO2).
Selama hidup, manusia senantiasa menghisap dan
mengeluarkan uadara. Dengan demikian, paru-paru berfungsi untuk mengeluarkan
udara yang menjadi sumber terbentuk bunyi bahasa (Pike, 1974).
b.
Pangkal Tenggorokan (Larynx)
Pangkal tenggorokan adalah rongga di ujung saluran
pernapasan. Pangkal tenggorokan ini terdiri atas empat komponen, yakni: (1)
tulang rawan krikoid, (2) tulang rawan Aritenoid, (3) sepasang pita suara, dan
(4) tulang rawan tiroid (Malmberg, 1963:22).
Tenggorokan (larynx), rongga anak tekak (pharinx),
pita suara (vokal cords), dan anak tekak (uvula). Tenggorokan
berfungsi untuk mengeluarkan udara dari paru-paru, rongga tersebut dapat
membuka atau menutup. Jika rongga tenggorokan membuka akan membentuk
bunyi vokal, sebaliknya jika rongga tenggorokan menutup akan membentuk
bunyi konsonan. Tentu saja, fungsi pita suara sangat penting dalam
menghasilkan bunyi. Uraian mengenai fungsi pita suara dijelaskan di
bawah ini.
c.
Rongga Anak Tekak (Pharynx)
Rongga anak tekak ada di antara pangkal tenggorokan
dan rongga mulut dan rongga hidung. Gunanya sebagai saluran udara yang akan
bergetar bersama sama dengan pita suara. Adapun bunyi yang dihasilkannya
disebut bunyi faringal.
d.
Pita suara (Vokal Cords)
Bunyi yang dihasilkan pita suara diatur oleh sistem
otot aritenoid. Pita suara bagian depan mengait pada tulang rawan tiroid.
Adapun pita suara bagian belakang mengait pada tulang rawan Aritenoid. Pita
suara dapat membuka luas atau menutup, fungsinya sebagai katup yang ngatur
jalannya udara dari paru-paru ketika melalui tenggorokan.
Akibat membuka dan menutup pita suara, akan
memunculkan rongga di antara pita suara yang disebut glotis. Posisi glotis ada
empat macam, yakni: membuka lebar, membuka, menutup, dan menutup rapat. Proses
bergetarnya pita suara tersebut disebut proses fonasi. Proses teresebut
dapat digambarkan sebagai berikut.
Proses membuka-Nutupnya Glotis
Posisi Glotis akan
mempengaruhi pola terbentuknya bunyi bahasa. Jika posisi glotis membuka akan
menghasilkan bunyi tak bersuara. Sebaliknya, jika posisi glotis menutup akan
menghasilkan bunyi bersuara. Di bawah ini dijelaskan posisi pita suara ketika
membentuk bunyi bahasa.
1.
Posisi pita suara ketika bernafas
Ketika bernafas, pita suara membuka lebar sehingga udara yang keluar dari
paru-paru melalui tenggorokan tidak ada yang menghalangi. Posisi pita suara
seperti ini umumnya menghasilkan bunyi vokal, bunyi [h p,t,s k].
2.
Posisi pita suara bergetar
Jika pita suara bergetar, bagian atasnya membuka sedikit sehingga
membentuk bunyi [b,d,g,m,r]. Jika pita suara tidak bergetar, akan
menghasilkan bunyi [p,t,c,k,f,h,s].
3.
Posisi pita suara ketika
ngengucapkan bunyi glotal
Ketika ngucapkan konsonan glotal, pita suara menutup sehingga bunyi yang
melalui tenggorokanberhenti sejenak, dan menghasilkan bunyi hamzah [?].
4.
Posisi pita suara ketika berbisik
Posisi pita suara ketika berbisik, bagian bawahnya
menutup sedikit, udara yang keluarnya pun berkurang sehingga bunyi–bunyi bahasa
tersebut tidak jelas terdengarnya.
Macam-macam Posisi Glotis
e.
Langit-langit Lunak (Velum) dan Anak tekak (Uvula)
Langit-langit lunak (velum) beserta bagian
ujungnya yaitu anak tekak (uvula) dalam menghasilkan bunyi bahasa, dapat
turun atau naik. Ketika bernafas normal, langit-langit lunak dan anak tekak
tersebut turun, sehingga udara dapat leluasa melalui hidung, termasuk ketika membentuk
bunyi nasal. Ketika menghasilkan bunyi nonnasal, langit-langit lunak dan anak
tekak naik menutup rongga hidung. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh
langit-langit lunak disebut bunyi velar. Adapun bunyi yang dihasilkan
dengan hambatan anak tekak disebut bunyi uvular.
f.
Langit-langit Keras (Palatum)
Langit-langit keras merupakan susunan tulang-belulang.
Bagian depannya mulai dari langit-langit cekung ka atas, kemudian diikuti oleh
bagian belakang yang lunak. Menghasilkan bunyi bahasa, langit-langit keras
menjadi artikulator pasif. Adapun artikulator aktifnya ialah ujung lidah dan
tengah lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh
langit-langit keras disebut bunyi palatal, sedangkan bunyi yang dihasilkan oleh
ujung lidah (apex) disebut bunyi apical. Bunyi yang dihasilkan oleh tengah
lidah (medium) disebut bunyi medial. Bunyi-bunyi tersebut biasa digabungkan
menjadi apikopalatal dan medio-palatal (Bloch & Trager, 1942:15).
g.
Gusi (Alveolum)
Gusi merupakan tempat
tumbuhnya gigi. Gusi dapat disebut daerah kaki gigi. Dalam membentuk bunyi
bahasa, lidah merupakan titik artikulasi, sedangkan articulator aktifnya ialah
ujung lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh gusi disebut bunyi alveolar. Selain
itu, gusi dapat bersama-sama dengan daun lidah (lamina) membentuk bunyi bahasa,
sehingga menghasilkan bunyi laminal. Gabungan kedua bunyi tersebut disebut
bunyi lamino-alveolar.
h.
Gigi (Dentum)
Gigi terbagi dua, yaitu gigi
atas dan gigi bawah. Ketika membentuk bunyi bahasa, gigi yang berperan penting
yaitu gigi atas. Gigi atas biasanya bersama-sama dengan bibir baeah atau ujung
lidah. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh gigi atas dan gigi bawah disebut bunyi
dental, bunyi bahasa yang dihasilkan oleh gigi atas dan bibir bawah disebut
labio-dental. Adapun bunyi bahasa yang terbentuk oleh gigi atas dan ujung lidah
disebut bunyi apiko-dental.
i.
Bibir (labium)
Bibir dibagi menjadi dua
bagian, yaitu bibir atas dan bibir bawah. Ketika membentuk bunyi bahasa, bibir
atas berfungsi sebagai articulator pasif bersama-sama dengan bibir bawah yang
menjadi articulator aktif. Bunyi yang dihasilkan oleh dua bibir disebut bunyi
bilabial.
C.
Klasifikasi Bunyi Bahasa
Bunyi bahasa dapat dikategorisasikan menjadi :
1.
Vokal, konsonan, dan semivokal (Jones, 1958:12)
2.
Nasal dan oral (Hyman, 1974: Bab 2)
3.
Panjang dan pendek (Jones, 1958:136)
4.
Keras dan lunak (Malmberg, 1963:51-52)
5.
Tunggal dan rangkap (Jones, 1958:22)
6.
Egresif dan ingresif (Ladefoged, 1973:23)
7.
Geminate dan homorgan (Robins, 1980:Bab 8)
1.
Vokal, Konsonan, dan Semivokal
Menurut Jones
(1958: 12) bunyi bahasa terbagi atas tiga macam, yaitu vokal, konsonan dan
semivokal. Pembagian ini berdasar pada ada tidaknya hambatan (proses
artikulasi) dalam alat ucap. Hambatan dalam pita suara tidak pernah disebut
artikulasi.
Vokal, konsonan,
dan semivokal merupakan jenis bunyi yang dibedakan berdasarkan ada tidaknya
rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara. Semivokal biasa dimasukkan
ke dalam konsonan. Karena itu, bunyi bunyi segmental lazim dibedakan atas bunyi
vokal dan bunyi konsonan.
Bunyi vokal
adalah bunyi yang arus udaranya tidak mengalami rintangan. Pada pembentukan
vokal tidak ada artikulasi. Hambatan untuk bunyi vokal hanya pada pita suara
saja. Hambatan pada pita suara tidak lazim disebut artikulasi. Karena vokal
dihasilkan dengan hambatan pita suara maka pita suara bergetar. Posisi glotis
dalam keadaan tertutup, tetapi tidak rapat sekali. Dengan demikian, semua vokal
termasuk bunyi bersuara.
Konsonan adalah
bunyi bahasa yang dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat
ucap. Dalam hal ini terjadi artikulasi. Proses hambatan atau artikulasi ini
dapat disertai dengan bergetarnya pita suara, sehingga terbentuk bunyi konsonan
bersuara. Jika artikulasi itu tidak disertai dengan bergetarnya pita suara,
glotis dalam dalam keadaan terbuka akan menghasilkan konsonan tak bersuara.
Bunyi semi-vokal
adalah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan, tapi karena pada saat
diartikulasikan belum membentuk konsonan murni. Bunyi semivokal dapat disebut
semikonsonan, namun istilah ini jarang dipakai.
2.
Bunyi Nasal dan Oral
Bunyi nasal atau
sengau dibedakan dari bunyi oral berdasarkan jalan keluarnya arus udara. Bunyi
nasal dihasilkan dengan menutup arus udara ke luar melalui rongga mulut, tetapi
membuka jalan agar dapat keluar melalui rongga hidung. Penutupan arus udara ke
luar rongga mulut dapat terjadi :
a.
Antara kedua bibir, misalnya bunyi (m)
b.
Antara ujung lidah dan ceruk, hasilnya bunyi (n)
c.
Antara pangkal lidah dan langit-langit lunak, hasilnya bunyi
(ŋ)
d.
Antara ujung lidah dan langt-langit keras, hasilnya bunyi (ň)
Bunyi oral dihasilkan dengan
jalan mengangkut ujung anak tekak mendekati langit-langit lunak untuk menutupi
rongga hidung sehingga arus udara dari paru-paru keluar melalui mulut. Selain
bunyi nasal, semua bunyi vokal dan konsonan bahasa Indonesia termasuk bunyi
oral.
3.
Bunyi Keras dan Lunak
Kategorisasi
bunyi keras (fortis) dan bunyi lunak (lenis) dobedakan berdasarkan ada tidaknya
ketegangan arus udara pada waktu bunyi itu diartikulasikan (Malmberg,
1963:51-52). Bunyi bahasa disebut keras apabila pada waktu diartikulasikan
disertai ketegangan kekuatan arus udara. Sebaliknya, apabila pada waktu
diartikulasikan tidak disertai ketgangan kekuatan arus udara, bunyi itu disebut
lunak.
Dalam bahasa
Indonesia terdapat kedua jenis bunyi tersebut. Baik bunyi keras maupun bunyi
lunak dapat berupa vokal dan konsonan seperti diuraikan berikut ini :
·
Bunyi keras :
1.
Bunyi letup tak bersuara : (p, t, c, k)
2.
Bunyi geseran tak bersuara : (s)
3.
Bunyi vokal : (Ə)
·
Bunyi lunak :
1.
Bunyi letup bersuara : (b, d, j, g)
2.
Bunyi geseran bersuara : (Z)
3.
Bunyi nasal : (m, n, ň, ŋ)
4.
Bunyi likuida : (r, l)
5.
Bunyi semi-vokal : (w, y)
6.
Bunyi vokal : (i, e, o, u)
4.
Bunyi Panjang dan Pendek
Bunyi panjang
dibedakan dari bunyi pendek berdasarkan lamanya bunyi tersebut diucapkan atau
diartikulasikan. Vokal dan konsonan dapat dibedakan atas bunyi panjangdan
pendek (Jones, 1958:136)
Tanda bunyi panjang biasanya
menggunakan tanda garis pendek di atas suatu bunyi atau menggunakan tanda titik
dia disebelah kanannya, contohnya : (a) panjang ditulis (ă) atau (a:).
5.
Bunyi Nyaring dan Tak Nyaring
Bunyi nyaring
dibedakan dari bunyi tak nyaring berdasarkan kenyaringan bunyi pada waktu
terdengar oleh telinga. Pembedaan bunyi berdasarkan derajat kenyaringan itu
merupakan tinjauan fonetik auditoris. Derajat kenyaringan itu sendiri
ditentukan oleh luas sempitnya atau besar kecilnya ruang resonansi pada waktu
bunyi itu diucapkan. Makin luas ruang resonansinya, makin rendah derajat
kenyaringannya.
6.
Bunyi Tunggal dan Rangkap
Bunyi tunggal
dibedakan dari bunyi rangkap berdasarkan perwujudannya dalam suku kata. Bunyi
tunggal adalah sebuah bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku kata,
sedangkan bunyi rangkap adalah dua bunyi atau lebih yang bergabung dalam satu
suku kata. Semua bunyi vokal dan konsonan adalah bunyi vokal. Bunyi vokal
disebut juga munoftong.
Bunyi rangkap
dapat berupa diftong maupun klaster. Diftong, yang lazim disebut vokal rangkap,
dibentuk apabila keadaan posisi lidah sewaktu mengucapkan bunyi vokal yang satu
dengan bunyi vokal yang lainnya saling berbeda (Jones, 1958:22). Misalnya,
dalam bahasa Indonesia terdapat diftong (oi), (al), dan (aU).
Klaster, yang
lazim disebut gugus konsonan, dibentuk apabila cara artikulasi atau tempat
artikulasi dari kedua konsonan yang diucapkan saling berbeda. Misalnya, dalam
bahasa Indonesia terdapat gugus (pr), (str), dan (dr).
7.
Bunyi Egresif dan Ingresif
Bunyi egresif
dan ingresif dibedakan berdasarkan arus udara. Bunyi egresif dibentuk dengan
cara mengeluarkan arus udara dari dalam paru-paru, sedangkan bunyi ingresif dibentuk
dengan cara menghisap udara kedalam paru-paru. Kebanyakan bunyi bahasa
Indonesia merupakan bunyi egresif.
·
Bunyi egresif dibedakan lagi atas bunyi egresif pulmonik dan
bunyi egresif glotalik.
-
Egresif pulmonik dibentuk dengan cara mengecilkan rongga
paru-paru oleh otot paru-paru, otot perut, dan rongga dada. Hampir semua bunyi
bahasa Indonesia dibentuk melalui egresif pulmonik.
-
Egresif glotalik dibentuk dengan cara merapatkan pitas suara
sehingga gloatis dalam keadaan tertutup sama sekali. Bunyi egresif glotalik
disebut juga bunyi ejektif, yang ditandai dengan tanda apostrof, contohnya
(p’,t’,k’,s’), contohnya bunyi-bunyi dalam bahasa-bahasa Kaukasus, Indian, dan
Afrika (Ladefoged, 1973:25).
·
Bunyi ingresif dibedakan atas bunyi ingresif glotalik dan
bunyi ingresif velarik.
-
Ingresif glotalik memiliki kemiripan dengan cara pembentukan
bunyi egresif glotalik, hanya arus udara yang berbeda. Dibentuk dengan cara
menghisap udara dan merapatkan pita suara sehingga glotis menutup. Adapun bunyi
yang dihasilkan disebut implosive, yang ditandai dengan tanda melengkung ke
sebelah kanan, contohnya (b,d,g). Contohnya bunyi-bunyi dalam bahasa Sindhi,
Swahili, Marwari, Ngadha, dan Sawu (Ladefoged, 1973:26).
-
Ingresif velarik dibentuk dengan cara menghisap udara dan
menaikkan pangkal lidah dalam langit-langit lunak; bersama-sama dengan
merapatkan bibir; begitu pula, ujung lidah dirapatkan ke dalam gigi/gusi.
Contohnya bunyi-bunyi dalam bahasa Khoisa, Xhosa, dan Zulu (Ladefoged,
1973:28-30).
8.
Geminatn dan Homorgan
Germinat yaitu rentetan
artikulasi yang sama (identik), sehingga menimbulkan ucapan panjang dalam bunyi
tersebut, contohnya: Allah dan Assalamualaikum. Adapun yang disebut Homorgan
yaitu bunyi-bunyi bahasa yang terbentuk oleh alat dan daerah artikulasi yang
sama. Contohnya, konsonan alveolar: (t), (d), dan (n): konsonan bilabial (p),
(b), dan (m): konsonan palatal (c), (j), (n) (band. Robins, 1980, bab 8).
dimana tabelnya...?
BalasHapus